Daftar Blog Saya

Jumat, 27 Februari 2015

Mafahim Konsep Ilmu Bidah Hasanah



Ada sebuah hadits yang oleh sebagian orang dijadikan alat untuk menekan atau menyudutkan sesamanya. Hadits tersebut adalah:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ. رواه أبو داود والترمذي (شرح رياض الصالحين، ج 1 ص 181)
Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang belum ada contoh dan dilakukan sebelumnya. Secara istilah bid’ah adalah suatu amalan baru dalam ajaran Islam yang tidak pernah diajarkan sebelumnya (diamalkan, diucapkan, dan ditetapkan) oleh Rasulullah atau para sahabat.
Potongan hadits tentang bid’ah tersebut oleh sebagian orang dijadikan alat untuk menyudutkan sesamanya. Sehingga terkesan sebagai momok (hal yang menakutkan), yang menyebabkan banyak orang yang ragu bahkan takut untuk melakukan berbagai macam hal.
Dan jika ditelaah lebih mendalam, lafadz كُلٌّ dalam hadits tersebut tidak bermakna ‘am (umum), namun bermakna khosh (khusus). Ini berarti didalamnya terdapat pengecualian yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.
Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah, dan Imam Subki membagi bid’ah menjadi tiga macam, yaitu bid’ah mubahah, bid’ah hasanah, dan bid’ah yang tidak sesuai dengan syara’.
Imam Abu Zakaria Yahya al-Nawawi (Imam Nawawi) menukil pendapat para ulama diantaranya Imam Ibnu Abdissalam yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dengan menyebutkan kaidah-kaidahnya, yaitu:
  1. Bid’ah Wajibah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, yang tanpanya kewajiban tidak bias dilakukan dan dipahami dengan baik. Seperti halnya sibuk mempelajari dan membuat ilmu gramatikal (nahwu, shorof, balaghoh, mantiq), ilmu hadits, ilmu tafsir, ushul fiqih, qoidah fiqih, dan lain sebagainya yang bias digunakan untuk memahami al-Qur’an dan al-Hadits, mengumpulkan al-Qur’an ke dalam satu mushaf, menulis dan mengumpulkan hadits dalam satu kitab. Berkah dalam bid’ah Wajibah ini bias dinikmati oleh pengajar, percetakan buku dan kitab, dan lain sebagainya.
  2. Bid’ah Mandubah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, yang tanpanya kesunnahan tidak bias dilakukan dan dipahami dengan baik. Seperti halnya sibuk mengarang kitab, membangun madrasah, membangun pondok pesantren, universitas, sekolah, melaksanakan sholat tarawih dengan berjama’ah, melakukan wiridan secara berjamaah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, membahas ilmu tasawuf, dan lain sebagainya. Berkah dalam bid’ah mandubah ini dapat dinikmati oleh penulis, penerjemah, arsitek, guru, dan masyarakat sekitar madrasah, pondok pesantren, universitas, sekolah dan lain sebagainya.
  3. Bid’ah Muharromah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul dan sahabatnya dan dilarang agama. Seperti halnya membunuh sesama muslim atau non muslim dengan bom (dan sejenisnya), menghancurkan tempat ibadah, membuat dan mengkonsumsi narkoba, bom bunuh diri, dan lain sebagainya. Berkah dalam bid’ah muharromah ini dapat dinikmati oleh Polisi, TNI, BNN (Badan Narkotika Nasional), rehabilitas, bina sosial, penjara, dan lain sebagainya.
  4. Bid’ah Makruhah, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan keutamaan. Seperti halnya menghias masjid dengan berlebih-lebihan. Berkah dalam bid’ah ini dapat dirasakan oleh designer wallpaper (desain tata ruang), arsitek, dan lain sebagainya.
  5. Bid’ah Mubahah, yaitu suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya yang tidak bertentangan dengan agama. Seperti halnya menciptakan berbagai jenis makanan baru, memakai kendaraan (motor, mobil, dan sebagainya), mengunakan alat komunikasi (telepon seluler, jejaring sosial, dan sebagainya), berjabat tangan setelah sholat, menghias rumah, memakai aksesoris. Berkah dalam bid’ah ini dapat dirasakan oleh koki, industri transportasi, industri telekomunikasi, dan lain sebagainya.
وأما قوله في حديث العرباض (فإن كل بدعة ضلالة) بعد قوله (وإياكم ومحدثات الأمور) فإنه يدل على أن المحدث يسمى بدعة وقوله (كل بدعة ضلالة) قاعدة شرعية كلية بمنطوقها ومفهومها، أما منطوقها فكأن يقال (حكم كذا بدعة وكل بدعة ضلالة) فلا تكون من الشرع لأن الشرع كله هدى، فإن ثبت أن الحكم المذكور بدعة صحت المقدمتان، وانتجا المطلوب، والمراد بقوله (كل بدعة ضلالة) ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص لا عام . وقوله في آخر حديث ابن مسعود (وأن ما توعدون لآت وما أنتم بمعجزين) أراد ختم موعظته بشيء من القرآن يناسب الحال. وقال ابن عبد السلام: في أواخر (القواعد) البدعة خمسة أقسام (فالواجبة) كالاشتغال بالنحو الذي يفهم به كلام الله ورسوله لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى إلا بذلك فيكون من مقدمة الواجب، وكذا شرح الغريب وتدوين أصول الفقه والتوصل إلى تمييز الصحيح والسقيم (والمحرمة) ما رتبه من خالف السنة من القدرية والمرجئة والمشبهة (والمندوبة) كل إحسان لم يعهد عينه فى العهد النبوي كالاجتماع عن التراويح وبناء المدارس والربط والكلام في التصوف المحمود وعقد مجالس المناظرة إن أريد بذلك وجه الله (والمباحة) كالمصافحة عقب صلاة الصبح والعصر، والتوسع فى المستلذات من أكل وشرب وملبس ومسكن. وقد يكون بعض ذلك مكروها أو خلاف الأولى والله أعلم (فتح الباري بشرح صحيح البخاري، باب كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة، ج 13 ص 254 / حاشية السيوطي والسندي على سنن النسائي، ج 3 ص 47، / صحيح مسلم بشرح النواوي، كتاب الجمعة في خطبته صلى الله عليه وسلم في الجمعة، ج 6 ص 154-155)
Berikut ini adalah hasil penemuan ilmuan dan ulama termasuk bid’ah wajibah (hasanah) yang membawa berkah:
  1. Pencetus penitikan dalam al-Qur’an adalah Abu al-Aswad ad-Duali tahun 62 H.
  2. Pencetus pengharakatan dalam al-Qur’an adalah Imam Khalil bin Ahmad al-Faraghidi (w. 185 H.)
  3. Perumus ilmu tajwid adalah Imam Abu Ubaid Qasim bin Salam (w. 67 H.)
  4. Perumus ilmu kalam adalah Imam Washil bin Atha’ dan disempurnakan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
  5. Perumus ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) adalah Imam Sibawaih.
  6. Perumus ilmu Ushul Fiqih adalah Imam Syafi’i
  7. Penemu ilmu musthalah al-Hadits adalah Syihabuddin Romaghurmuzi atas perintah Khalifah Umar bin Khattab.
  8. Tafsir al-Qur’an pertama kali ditulis oleh Imam Abu Ja’far at-Thabari dengan tebal 10 jilid.
  9. Perumus ilmu falak adalah al-Biruni (l. 973 w. 1050 M.)
  10. Perumus ilmu balaghoh adalah Abdul Qahir
  11. Penulis ilmu kimia adalah Abu Musa Jabir ibn Hayyan (721-815 M.)
  12. Observatorium pertama kali dibangun oleh Nasiruddin at-Tusi dan Ulugh Beg pada tahun 1259 M.
  13. Buku perumusan ilmu sejarah pertama kali ditulis oleh Ibnu Khaldun.
  14. Universitas didirikan pertama kali oleh Fatimah al-Fihri di kota Fez, Maroko pada tahun 859 H.
  15. Penulisan ilmu kedokteran pertama kali oleh Ibnu Sina (L. 980 M.)
  16. Penulis tentang penyakit cacar pertama kali adalah Abu Bakar ar-Razi dalam kitab “Fii al-Thibb”.
  17. Penemu ilmu bedah adalah Abu al-Qasim az-Zahrawi (936-1013 M.)
  18. Penemu ilmu matematika adalah Jabir bin Hayyan al-Azbi (w. 161 H.)
  19. Penemu kacamata adalah al-Hasan bin Haitam.
  20. Penggambar peta bumi pertama kali adalah Abdullah al-Idrisi.
  21. Penggambar ruang angkasa pertama kali adalah Abdurrohman Ibnu Hauqal.
  22. Penemu alat musik organ atau piano adalah al-Qanun Abu Nasr al-Farabi dalam kitab “Musiq al-Kubro”.
  23. Penemu solmisasi (kunci nada) adalah Ishaq al-Mausili (w. 850 M.)
  24. Peletak dasar-dasar mekanik dan industri adalah al-Jazari (abad 12).
  25. Penemu sepeda kayuh (sepeda ontel, pancal) adalah imam al-Ghazali.
  26. Penemu alat poros engkol dan kunci kombinasi adalah al-Jazari (abad 12).
  27. Penemu alat navigasi atau kompas adalah Ahmad bin Majid
  28. Perancang air mancur adalah Banu Musa bersaudara pada abad ke 9.
  29. Orang yang pertama kali terbang adalah Abbas bi Farnas.
  30. Penemu sabun mandi adalah al-Razi (abad 7).
  31. Penemu kopi adalah Khalid.
Berawal dari hadits “Kullu Bid’ah Dholalah”, dengan beringasnya wahabi menyesatkan amalan-amalan yang tidak sejalan dengan faham mereka. Mereka selalu saja menanyakan “mana dalilnya?” Jika tidak ada contoh dari Nabi dan sahabat maka akan diklaim sebagai amalan yang bid’ah dan sesat.

Setelah saya amati masalah ini, saya mengambil kesimpulan bahwa antara wahabi dan ahlu sunah memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dalam memahami bid’ah.

Persamaannya adalah keduanya sama-sama berpendapat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari nabi dan sahabat, maka disebut amalan bid’ah. Sementara perbedaannya adalah apakah setiap bid’ah itu dholalah? ataukah ada bid’ah yang hasanah?

Menurut wahabi semua bid’ah adalah dholalah. Menurut ahlu sunah tidak semua bid’ah dholalah. Ada sebagian bid’ah yang hasanah. Jika kita cermat, sebenarnya perbedaan tersebut disebabkan oleh bagaimana cara memahami bid’ah itu sendiri.

Wahabi memahami bid’ah dari satu sisi. Mereka hanya melihat teks hadits, Sementara ahlu sunah memahami bid’ah melalui dua sisi, yakni teks hadits dan konteks bid’ah. Yang dimaksud teks hadits disini adalah kalimat Kullu bid’ah dholalah. Sedangkan yang dimaksud konteks bid’ah adalah amalan bid’ah itu sendiri.

Salah satu amalan yang diklaim sebagai amalan bid’ah adalah tahlilan. Ahlu sunah dan wahabi sepakat bahwa tahlilan adalah amalan bid’ah. Alasannya pun sama, sebab Nabi dan sahabat tidak ada yang melakukan amalan tersebut. Perbedaannya apakah tahlilan merupakan amalan yang sesat ataukah tidak?

Dalam hal ini wahabi memahami hadits secara tekstual. Mereka hanya melihat kalimat kullu bid’ah dholalah, tanpa melihat bagaimana isi amalan tersebut. Sehingga mereka mengatakan bahwa tahlilan adalah amalan yang sesat.

Lain dengan ahlu sunah. Setelah melihat teks hadits dan mengatakan bahwa tahlilan adalah amalan bid’ah, selanjutnya mereka melihat isi amalan tersebut. Tahlilan adalah sebuah kegiatan membaca surat al-ikhlash, al-falaq, an-nas, fatihah, awal surat al-baqoroh, ayat kursi, istighfar, sholawat, tasbih dan kalimat toyyibah (Laa Ilaha Illalloh) yang ditutup dengan do’a.

Oleh karena isi dari amalan tersebut bagus maka ahlu sunah mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah hasanah. disebut bid’ah karena amalan tersebut tidak dicontohkan oleh Nabi dan sahabat. Disebut hasanah karena amalan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran, Hadits, dan Ijma’.

Dapat disimpulkan bahwa bid’ah hasanah adalah setiap amalan yang tidak dicontohkan oleh Nabi dan Sahabat serta tidak bertentangan dengan Al-Quran, Hadits dan ijma’.

Dalam kitab Al-Barohin Ala ala Bid’ah hasanah Fiddin, juz 1 hlm 14, Abi Mu’adz Assalafi Al-Wahabi, mencoba menolak konsep bid’ah hasanah dengan membuat menukil ilustrasi dialog dalam kitab Syuyukhul Azhar Waziyadah Fiddin karya Abdulloh Al-Wahabi. Dalam ilustrasi itu seolah-olah Abdulloh Al-Wahabi berdialog dengan salah satu Syekh Al-Azhar.

Dalam dialog ia mengajukan pertanyaan “Apa yang membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah?” Selanjutnya ia membuat jawaban yang ia nisbatkan kepada ulama al-azhar, begini: “bid’ah hasanah adalah yang diperbolehkan agama sedangkan bid’ah qobihah adalah yang dilarang oleh agama.”

Tanggapan saya:

Sayang sekali anda tidak menyebutkan nama Syekh Al-Azhar tersebut. Dengan demikian kisah tersebut termasuk kisah majhul. Sebab terdapat tokoh yang tidak diketahui namanya.

Saya kira jawaban yang dinisbatkan oleh Abdulloh Al-wahabi kepada Syekh Al-Azahar hanya merupakan hasil hayalannya belaka. Sebab mustahil seorang syekh Al-Azhar memberi jawaban seperti itu. Seandainya Abdulloh Al-Wahabi benar-benar pernah berdialog dengan Syekh Al-Azhar dan mengajukan pertanyaan “Apa yang membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah?” Niscaya Syekh Al-Azhar itu akan menjawab sebagaimana jawaban Imam Syafi’i, bahwa untuk membedakan antara bid’ah hasanah dan bid’ah qobihah adalah dengan melihat apakah bid’ah tersebut bertentangan dengan Al-Quran, Hadits dan Ijma’ ataukah tidak.

Bid’ah yang bertentangan dengan Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ disebut bid’ah qobihah. Sedangkan bid’ah yang tidak bertentangan dengan ketiganya disebut bid’ah hasanah. Jadi konsep bid’ah hasanah sangat jelas. Bid’ah hasanah adalah bid’ah yang tidak bertentangan dengan Qur’an, Hadits dan Ijma’.

Ibn Taimiyah dalam majmu’ Fatawi menukil kalam Imam Syafi’I kemudian menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah. Kata Ibn Taimiyah:

ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن الإيمان لا يتم إلا به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة. (إبن تيمية مجموع الفتاوى ج 20 ص 127 )

Perhatikan kalimat: “وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة (bid’ah yang tidak bertentangan dengan kitab, (Al-Qur’an), sunah, ijma’ dan atsar, bid’ah tersebut adalah bid’ah حسنة  (hasanah). Jadi Ibn Taimiyah mengakui adanya bid’ah hasanah.

Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari, juz 4 hlm 253 mengatakan:

وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ. (الحافظ ابن حجر، فتح الباري، 4/253).

“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”

Badruddin Al-Aini dalam kitab Umdatul Qori’ Syarah Shohih Bukhori, Juz 10 hlm 297 mengatakan:

والبدعة لغة كل شيء عمل علي غير مثال سابق وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله وهي عل قسمين بدعة ضلالة وهي التي ذكرنا وبدعة حسنة وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
Secara bahasa bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh terdahulu. Sedangkan bid’ah secara syariat adalah membuat suatu perbuatan yang tidak ada asalnya dimasa Rosululloh SAW.
Bid’ah terbagi menjadi dua: (1). Bid’ah dholalah, yaitu bid’ah yang telah kami jelaskan. (2). Bid’ah hasanah, yaitu sesuatu yang dilihat bagus oleh orang beriman dan tidak bertentangan dengan al-kitab (Quran) atau sunah (hadits), Atsar dan ijma’.
Badruddin Al-Aini dalam kitab Umdatul Qori’ Syarah Shohih Bukhori, Juz 10 hlm 297 mengatakan:

والبدعة لغة كل شيء عمل علي غير مثال سابق وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله وهي عل قسمين بدعة ضلالة وهي التي ذكرنا وبدعة حسنة وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
Secara bahasa bid’ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa adanya contoh terdahulu. Sedangkan bid’ah secara syariat adalah membuat suatu perbuatan yang tidak ada asalnya dimasa Rosululloh SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua: (1). Bid’ah dholalah, yaitu bid’ah yang telah kami jelaskan. (2). Bid’ah hasanah, yaitu sesuatu yang dilihat bagus oleh orang beriman dan tidak bertentangan dengan al-kitab (Quran) atau sunah (hadits), Atsar dan ijma’.

Para ulama dari 4 madzhab juga menilai berbagai amalan bid’ah hasanah. Seperti mauled nabi, pembacaan sholawat setelah adzan, tasbih dan dzikir sebelum fajar dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca artikel saya Inilah Ahlu Bid'ah Versi Wahabi

Pada dasarnya wahabi juga menerima konsep bid’ah hasanah hanya saja mereka tidak menamakannya sebagai bid’ah hasanah melainkan maslahah murasalah. Dalam kitab AL-Maulid juz 1 hlm 37, Samir Al-Wahabi mengatakan:

والمصلحة المرسلة هي مما اقتضته أدلة الشرع ، مما لم ينص على عينه ، لكنه يندرج تحت تلك النصوص.
“Maslahah mursalah adalah sesuatu yang dikandung oleh dalil syari’at yakni sesuatu yang tidak memiliki nas (dalil) atas bentuknya tetapi ia masuk dalam naungan nas tersebut.”

Penamaan bid’ah hasanah sebagai maslahah mursalah semakin jelas jika kita mau melihat Fatwa Abdur Razaq Al-Afifi Al-Wahabi  dalam kitab Fatawa Abdur Rozaq Al-Afifi pada soal ke enam Juz 1 hlm 310:

س6: سئل الشيخ : هل هناك بدعة حسنة ؟
فقال الشيخ - رحمه الله - : ليس هناك بدعة حسنة وما يسمونه بدعة حسنة هو من المصالح المرسلة .

Soal ke 6: Syekh di Tanya, apakah ada bid’ah hasanah? Kemudian syekh menjawab: Bid’ah hasanah tidak ada. Apa yang mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.

Perhatikan kalimat “Apa yang mereka sebut sebagai bid’ah hasanah adalah termasuk maslahah mursalah.” Kalimat ini jelas menunjukan bahwa sebenarnya wahabi mengakui adanya bid’ah hasanah. Hanya saja mereka tidak menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, melainkan maslahah mursalah. Jadi permasalahan yang sebenarnya tidak terletak pada bid’ah hasanahnya, melainkan pada penamaannya.

Dengan demikian, jika wahabi menolak bid’ah hasanah, maka sama saja mereka menolak maslahah mursalah. Sebab, bid’ah hasanah dan maslahah mursalah sama-sama amalan yang tidak ada dalil secara shorih yang masuk dalam naungan syariat yang tidak bertentangan dengan quran, hadits, dan ijma’.

Posted: Qosim Ibnu Aly https://plus.google.com/115121577207723835955